mukjizat.co – Dalam banyak masalah terjadi perbedaan pendapat antar ulama. Antara mengharamkan, membolehkan, menganjurkan, mewajibkan, dan sebagainya. Demikian juga dalam masalah hukum demonstrasi, ada perbedaan seperti itu.
Hal ini tidak mengapa. Wajar dalam masalah yang ijtihadiah terdapat perbedaan pendapat. Tapi pendapat-pendapat itu hendaknya:
- Didasarkan pada dalil.
- Didasarkan pada analisis yang tepat tentang sikap syar’i dalam kasus spesifik yang sedang diperdebatkan.
- Didorong oleh kejujuran dan keinginan mencapai hukum yang tepat. Bukan bersifat politis karena pesanan penguasa.
Adakah Dalil yang Mengharamkan?
Kalau kita cermati, ulama atau lembaga yang mengharamkan demonstrasi biasanya hanya beralasan bahwa demonstrasi:
- Menyebabkan kekacauan
- Berasal dari orang kafir
- Sikap melawan pemerintah yang sah
- Campur laki-laki dan perempuan
- Sia-sia, karena tidak mengubah keadaan
- Buang-buang waktu
- Masih ada cara lain yang diperintahkan Allah Taala. Yaitu memperbaiki ibadah kita, banyak berdoa, dan sebagainya. Allah pasti akan mengubah kondisi yang sedang kita protes.
Semua itu terlihat hanyalah alasan, bukan dalil, mengapa demonstrasi itu haram. Tidak disebutkan secara jelas apa dalil pelarangan demonstrasi. Padahal saat tidak ada larangan, sangat mungkin sebuah perbuatan termasuk dalam hal-hal yang dibiarkan oleh syariat, sehingga umat Islam boleh melakukannya tanpa sanksi.
Lalu Apa Kata Syariah Tentang Hukum Demonstrasi?
Yang pertama kali harus kita ketahui adalah hukum boleh-tidaknya seorang Muslim mengkritik dan menentang perkataan pemimpinnya?
Keputusan Rasulullah saw. dalam Perang Uhud
Dalam Perang Uhud, Rasulullah saw. memilih tetap di Madinah. Keputusannya itu didasarkan kepada mimpi yang pasti benar karena diberikan kepada seorang nabi.
Tapi banyak orang, terutama kalangan muda dan kelompok yang tidak ikut serta dalam Perang Badar berpendapat lain. Mereka ingin ke luar kota Madinah untuk menghadapi musuh.
Pendapat ini tentu bertentangan dengan keputusan Rasulullah saw. yang merupakan seorang nabi, mendapatkan wahyu, ma’shum (terpelihara), dan pemimpin yang harus ditaati. Tapi akhirnya yang disepakati bersama adalah pilihan perang luar kota.
Putusan Rasulullah saw. dalam Masalah Perselingkuhan
Dalam kitab Shahih Bukhari diceritakan bahwa salah seorang sahabat bernama Uwaimir ra. mendapati istrinya berbuat zina dengan seorang laki-laki. Dia akhirnya bertanya kepada Rasulullah dengan menyampaikan sebuah redaksi:
“Bagaiamana jika seorang suami mendapati istrinya berbuat zina. Apakah dia membunuh lalu akhirnya diqisas? Atau dia melaporkan lalu akhirnya dihukum cambuk? Atau diam saja memendam kemarahan?”
Rasulullah saw. tetap menggunakan hukum yang berlaku saat itu, dan meminta Uwaimir mendatangkan 4 orang saksi. Saat itu Uwaimir mengatakan kepada Rasulullah saw., “Bagaimana mungkin suami melihat istrinya berzina lalu pergi mencari 4 orang saksi? Demi Allah, pasti akan ada wahyu yang menerangkan hukum dalam masalah ini.” Hingga benar, akhirnya turun surat An-Nur: 6-9 memberikan sebuah pengecualian.
Keputusan Rasulullah saw dalam Perjanjian Hudaibiyah
Disebutkan dalam sirah nabawiyah tentang peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. bersama para sahabat dihalangi memasuki Mekah untuk menunaikan ibadah umrah. Mereka berhenti di pinggiran Mekah bernama Hudaibiyah.
Terjadi rentetan perundingan yang berakhir dengan kesepakatan di antaranya umat Islam tidak diperkenankan menunaikan ibadah umrah tahun ini. Mereka akan diizinkan menunaikannya tahun depan.
Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat menggundul atau mencukur rambut untuk tahallul dari ihram mereka. Para sahabat yang sudah sangat rindu dengan tanah suci mereka pun menolak, tidak melaksanakan perintah pemimpin dan nabi mereka. Hingga akhirnya Ummu Salamah ra. mengusulkan agar Rasulullah saw. memulai sendiri tahallul tersebut.
Umar ra. Rindu Didemo
Saat diangkat menjadi khalifah, Umar bin Khattab ra. menyampaikan sebuah pidato:
“Aku dijadikan pemimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik. Maka jika aku benar, dukunglah aku. Jika aku bengkok luruskanlah aku.”
Ada orang yang berdiri dan mengatakan, “Demi Allah, jika kami gagal meluruskanmu dengan lisan, kami akan meluruskanmu dengan pedang kami.”
Umar ra. menjawab, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di kalangan Umat Muhammad saw. orang yang akan meluruskan Umar dengan pedangnya.”
Ini membuktikan bahwa Islam menjamin hak berbicara dan berpendapat. Islam melarang kita bersikap munafik, membiarkan kesalahan padahal tahu itu salah.
Kenapa Mengkritik Pemimpin Terang-terangan?
Dalam Islam diterangkan tentang kewajiban memberikan nasihat. Termasuk kepada pemimpin kita. Diterangkan juga adab dalam memberikan nasihat tersebut. Di antaranya, nasihat diberikan secara tertutup sehingga tidak menurunkan wibawa seorang pemimpin.
Kalau dikatakan sebagai sebuah bentuk nasihat, maka demonstrasi adalah memberikan nasihat dengan sangat terbuka dan terang-terangan. Bahkan tak jarang ada yel-yel yang berisi kritikan kepada pemimpin. Bolehkah hal itu?
Ternyata ada sebuah kaidah “Jika sebuah kemungkaran sudah dilakukan secara terbuka, atau ditampakkan secara terbuka oleh penguasa, maka adalah wajib mengubahnya dengan cara yang terbuka juga.” Hal inilah yang kita temukan dalam berbagai peristiwa yang dilakukan para ulama salah.
Mengkritik Pemimpin Saat Khutbah
Misalnya dalam kitab Shahih Muslim diceritakan sebuah peristiwa Umarah bin Ruwaibah ra. mengkritik Bisyr bin Marwan yang sedang menyampaikan khutbah. Saat Bisyr mengangkat tangan untuk berdoa, Umarah ra. berdiri dan mengatakan:
“Semoga Allah Taala memburukkan dua tangan yang pendek itu. Demi Allah, Rasulullah saw. hanya mengangkat telunjuknya saat berdoa dalam khutbah. Bukan mengangkat kedua tangan.”
Cara berdoa seperti ini adalah sebuah masalah fikih sederhana. Bukan masalah yang berpengaruh luas dan membahayakan umat. Tapi ternyata seorang ulama sampai menyampaikannya secara terbuka, dilihat oleh jamaah Jumat yang tentu sangat banyak.
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dalam shalat Id. Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa beliau melihat Muawiyah ra. yang menjadi khalifah saat itu hendak menyampaikan khutbah dulu sebelum melaksanakan shalat, seperti tata cara seperti shalat Jumat. Abu Sa’id Al-Khudri langsung berkata keras, “Demi Allah, tidak seperti ini yang dilakukan Rasulullah saw.”
Dalil Umum yang Jarang Kita Sadari
Demonstrasi di Mekah
Di awal dakwah terang-terangan pada fase Mekah, para sahabat pernah berkumpul dan berpawai untuk menunjukkan kekuatan. Mereka keluar dari rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, dan berjalan bersama-sama ke Masjidil Haram.
Rombongan terbagi menjadi dua. Dipimpin oleh Umar bin Khattab ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Aksi ini bertujuan menunjukkan eksisten sekelompok Muslim. Orang-orang Musyrikin jadi tahu bahwa ada kekuatan baru yang tidak bisa dianggap remeh. Riwayat tentang peristiwa ini didhaifkan Syaikh Albani, tapi banyak ulama hadits menshahihkannya.
Shalat Idul Fitri dan Idul Adha
Shalat Id tidak dilaksanakan di masjid. Tapi dilaksanakan di tanah lapang. Selain agar bisa menampung banyak orang, tanah lapang adalah tempat yang terbuka dan bisa disaksikan oleh banyak orang. Dalam shalat Id, semua umat Islam dianjurkan untuk hadir.
Semua warga baik laki-laki maupun perempuan, bahkan wanita yang yang sedang haidh dan nifas sekalipun dianjurkan hadir. Semua itu untuk memperlihatkan kepada Yahudi dan kelompok lain yang memusuhi Islam dengan banyaknya umat Islam.
Dalil Spesifik Tentang Demonstrasi
Dalil-dalil ini mungkin dianggap terlalu umum, sehingga mungkin ada yang menangkap kesan menghubung-hubungkannya dengan hukum demonstrasi, padahal tidak ada hubungannya. Jika tidak puas dan ingin dalil yang secara spesifik menunjuk kepada masalah demonstrasi, berikut beberapa di antaranya:
Nasihat Berdemo dari Nabi saw.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, “Seorang lelaki datang mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tetanggaku menyakitiku.” Sabda saw. bersabda, “Pulanglah, dan keluarkan barang-barang kamu serta letakkannya di jalan.”
Maka lelaki itu pun pulang dan mengambil barang-barangnya lalu meletakkannya di jalan. Maka orang-orang pun berkumpul di sekitarnya. Mereka bertanya, “Apa yang terjadi kepadamu?” Dia menjawab, “Tetanggaku menyakitiku lalu aku ceritakannya kepada Nabi saw. Beliau pun berkata, “Pulanglah, dan keluarkan barang-barang kamu serta letakkannya di jalan.””
Maka mereka pun berkata, “Ya Allah laknatilah dan hinalah dia.” Dalam waktu yang sama hal tersebut didengari oleh tetangga tersebut. Maka tetangga itu pun segera menemuinya dan berkata, “Kembalilah ke rumahmu, demi Allah aku tidak akan menyakitimu lagi.”
Demonstrasi Menurut Mazhab Hanafi
Pengharaman hukum demonstrasi banyak diserukan ulama-ulama dari Arab Saudi. Mayoritas mereka bermazhab Hanbali. Ternyata dalam khazanah mazhab Hanafi terdapat fatwa yang membolehkan berdemonstrasi.
Dalam kitab Ghidza’ul Albab fi Syarhi Manzhumatil Adab karya Safarini diceritakan, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) tentang orang yang mendengar terjadinya kemungkaran di salah satu rumah tetangganya.”
Imam Ahmad menjawab: “Harus dilakukan amar makruf. Kalau orang itu tidak mau menerima, maka kumpulkanlah para tetangga untuk menakut-nakutinya.”
Imam Ibnul Jauzi dalam Kitab Al-Muntazhim juga menyampaikan sebuah peristiwa besar yang bisa dikatakan sebagai sebuah aksi demonstrasi menentang kebatilan. Secara ringkas disebutkan bahwa saat itu banyak sekali orang berkumpul mendatangi istana Khilafah. Di antara mereka ada para da’i, qurra, dan lainnya.
Mereka berkata lantang menentang adanya sekelompok orang yang mencela sahabat, tapi tidak ditindak oleh khalifah. Bahkan mereka dilindungi oleh polisi. Tuntutan mereka diterima, dan mereka diminta untuk membubarkan diri.
Imam Malik Mogok Kerja di Madinah
Terdapat kasus pembunuhan di Madinah. Pelaku terbukti bersalah dan harus diqisas. Tapi keluarga pelaku melapor ke penguasa untuk tidak diberlakukan qisas. Imam Malik mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan mengajar sebelum pelakunya dihukum mati.”
Imam Malik benar-benar tidak mau mengajar. Sehingga warga Madinah pun bangkit, memprotes pemerintah yang menyebabkan Imam Malik tidak lagi mengajar. Akhirnya pelaku dihukum mati.
Al-Izz bin Abdussalaam Mogok Kerja di Mesir
Di Mesir banyak terjadi kezhaliman. Al-Izz bin Abdussalaam menyurati sultan tentang masalah ini, tapi tidak ditanggapi. Beliau akhirnya pergi membawa dua ekor keledai. Satu ekor dikendarai istrinya, dan satu lagi untuk membawa perpustakaannya.
“Aku tidak mau lagi di Mesir,” demikian kata beliau. Warga Mesir yang mengetahui hal itu pun mengikutinya meninggalkan Mesir. Berita itu sampai kepada sultan. Akhirnya sultan mengatakan, “Segera kejar Al-Izz bin Abdussalaam, sampaikan bahwa aku akan melaksanakan permintaannya.”
Baca juga:
- Beginilah Seharusnya Penguasa Memperlakukan Ulama
- Beberapa Kisah Ulama dan Penguasa yang Berakhir Tragis
- Beginilah Seharusnya Sikap Ulama kepada Penguasa
Kesimpulan
Dengan demikian aksi demonstrasi sebenarnya dibolehkan, karena dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu. Bahkan hukum demonstrasi bisa jadi diwajibkan, ketika dilakukan untuk membela orang-orang yang terzhalimi. Karena membela mereka adalah sebuah kewajiban.
Jika cara demonstrasi bisa dilakukan dan efektif untuk membela mereka, maka menjadi sebuah kewajiban.
Demikianlah hukum demonstrasi. Demontrasi juga bukan sebuah perbuatan melawan pemerintah yang sah (al-khuruj alal hukkam). Al-khuruj alal hukkam adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. Pemerintah diperbolehkan melawan mereka bahkan dengan kekuatan senjata.
Tapi demonstrasi sangat berbeda dengan al-khuruj alal hukkam. Karena banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dinamakan demikian. Misalnya harus berkekuatan senjata, sementara dalam demonstrasi tidak ada hal demikian. Demonstrasi juga bertujuan menentang kezhaliman, bukan menjatuhkan pemerintahan seperti yang terdapat dalam al-khuruj alal hukkam. (sof1/mukjizat.co).
Raih cahaya hidayah dalam serial TADABUR AL-QURAN, berisi ringkasan tadabur para ulama tafsir:
Tulis komentar terbaik Anda di sini