mukjizat.co – Membandingkan shalat berjamaah saat perang dan corona. Dalam menghadapi kondisi wabah seperti saat ini diperlukan kekompakan dalam mengambil tindakan menghadapinya. Karena kalau tidak, wabah itu tentu akan semakin mengganas dan tak terkendalikan. Misalnya himbauan untuk mengurangi perkumpulan, termasuk di dalamnya shalat berjamaah di masjid.
Namun sangat disayangkan ada ulama yang kurang merasakan pentingnya hal ini, lalu menyampaikan alasan-alasan untuk menentang himbauan dari pemerintah dan fatwa ulama resmi. Karena alasan-alasan itu langsung diambil langsung dari ayat-ayat Al-Quran dan teks hadits, maka tentu banyak masyarakat yang langsung mengikutinya. Hal itu sebagai sebuah bentuk ketundukan kepada Allah Taala.
Tapi apakah benar pengambilan kesimpulan dari teks-teks ayat dan hadits itu? Al-Quran dan hadits, adalah rujukan utama hukum Islam. Itu disepakati semua kita. Akan tetapi untuk memahami keduanya dibutuhkan cara yang benar sesuai dengan ilmu Bahasa Arab yang ada, dan cara menilai masalah secara komprehensif.
Misalnya ada ulama yang beralasan bahwa dalam kondisi perang saja Rasulullah saw. mengajarkan shalat khauf yang dilaksanakan dengan berjamaah. Kenapa sekarang dalam situasi mewabahnya virus corona, shalat berjamaah harus dihindari sementara waktu. Lebih besar mana kemungkinan matinya; karena perang atau virus? Allah Taala berfirman:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” [An-Nisa’: 102].
Bagaimana menilai pemahaman seperti itu? Perlu kita tekankan, bahwa dalam memahami ayat ini harus dilihat qorinah syar’iyahnya. Harus disandingkan juga dengan ayat dan hadits yang lain. Karena sesama ayat dan hadits itu saling menerangkan. Sangat mungkin adanya ayat dan hadits yang dipahami berbeda menunjukkan adanya hukum yang berbeda untuk situasi yang berbeda.
Sehingga akan diketahui bolehkah membandingkan shalat berjamaah saat perang dan corona.
Dalam memahami ayat di atas, misalnya, harus membaca hadits berikut ini:
“Orang orang Musyrik telah menyibukkan Rasulullah saw. dari melaksanakan empat waktu shalat, pada hari Perang Khandaq sampai malam berlalu dengan kehendak Allah. Kemudian beliau memerintahkan Bilal (untuk mengumandangkan adzan), maka Bilal pun mengumandangkan adzan dan Iqamat. Beliau kemudian melaksanakan shalat zhuhur. Kemudian Bilal iqamat, lalu beliau shalat asar. Kemudian Bilal iqamat, lalu beliau shalat maghrib. Kemudian Bilal iqamat, lalu beliau melaksanakan shalat Isya.” [Tirmizi].
“Semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api, karena mereka telah menyibukkan kita dari (tidak melaksanakan) shalat Al-Wushtha hinga matahari terbenam.” [Bukhari].
Dapat dipahami bahwa ternyata ada empat situasi shalat ketika perang:
- Dalam keadaan aman dari ancaman musuh, dan tidak dalam keadaan berhadapan, para mujahid shalat seperti biasa. Seakan tidak dalam perang.
- Dalam keadaan berhadap-hadapan dengan musuh, dan khawatir serbuan medadak, mereka shalat al-khauf secara berjamaah.
- Dalam keadaan perang berkecamuk, dan tidak bisa shalat, setiap mujahid shalat sendiri-sendiri, sesuai keadaan masing-masing.
- Kalau tidak bisa melakukan shalat, dan terpaksa mengakhirkan shalat, mereka melaksanakan shalat setelah habis waktu shalat ketika mereka mampu. Hal ini bagi yang lupa atau sibuk dengan perang sehingga tidak bisa shalat pada waktunya. Inilah yang disebutkan dalam hadits Tirmizi di atas.
Baca juga:
- Meluruskan fikih gerakan SPK dalam menyikapi wabah Corona
- Fikih Corona
- Anjuran Nabi saat wabah virus
- Hati-hati, wabah ini datangnya tak terduga
- Syaikh Qaradhawi: Beriman dengan takdir tetap wajib berusaha
Oleh karena itu, dapat disimpulkan, pertama, bahwa ayat tentang shalat al-khauf ketika perang tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang penghentian shalat jamaah dalam keadaan wabah virus Corona. Karena ternyata perintah shalat al-khauf dalam ayat itu tidak bisa dipahami secara muthlaq (bebas, tanpa ketentuan). Sehingga bisa dipahami bahwa ada situasi yang membolehkan tidak berjamaah.
Kedua, di sisi lain, virus berbeda dengan musuh. Musuh bisa dideteksi dengan mata telanjang, sedangkan virus tidak bisa. Maka kalaupun dilakukan qiyas aula (bahwa dalam perang saja shalat berjamaah tidak dihilangkan, apalagi cuma saat situasi wabah), qiyasnya bathil, karena tidak ada kesamaan antara dua hal itu.
Ketiga, di zaman dulu tidak diketahui bagaimana virus menyebar. Sementara di zaman sekarang diketahui dan bisa diantisipasi. Maka menjadikan tidak adanya tindakan preventif di zaman dulu sebagai dalil kita tidak melakukan tindakan preventif adalah salah. Karena, dulu tidak dilakukan preventif disebabkan tidak adanya hal yang menjadi dasar mereka melakukannya. Sementara saat ini virus diketahui dan bisa dicegah, maka tindakan itu boleh dilakukan walaupun dulu tidak dilakukan.
Demikianlah bagaimana membandingkan shalat berjamaah saat perang dan corona. (sof1/www.mukjizat.co)
Diolah dari sumber akun FB: Dr. Taufik Qulazhar
Raih cahaya hidayah dalam serial TADABUR AL-QURAN, berisi ringkasan tadabur para ulama tafsir:
Tulis komentar terbaik Anda di sini